Feb 18, 2010

Tanah Tabu



By : Anindita S. Thayf
Published : May 2009 by PT Gramedia Pustaka Utama
Details : Paperback, 237 pages
Literary awards :
Khatulistiwa Literary Award Nominee for Prose (2009), Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (2008)
isbn : 9792245677 (isbn13: 9789792245677)

Rating : 5 of 5 stars
Bookshelves : buku-hadiah, my-shelf
Status : Read in September, 2009

"Ketahuilah Nak. Rasa takut adalah awal dari kebodohan. Dan kebodohan-jangan sekali-kali engkau memandangnya dengan sebelah mata-mampu membuat siapapun dilupakan kodratnya sebagai manusia". (hal.163)

Betapa kata-kata ini mampu menghipnotisku untuk mengulang-ulangnya lagi dalam setiap denyut nadiku.

Mabel, Mace Lisbeth dan Leksi, potret kehidupan perempuan yang tidak ingin terbelenggu oleh tradisi kebodohan dimana perempuan sama sekali tidak dihargai. Mereka berusaha keras untuk menjadi orang-orang pandai yang dihargai ditengah segala keterbatasan mereka.

Berlatarbelakang kehidupan suku Dani di Papua, Anin mengangkat kisah kehidupan yang sangat menarik. Dimana orang2 Papua yang seringkali dianggap bodoh dan terbelakang oleh masyarakat kota seperti kita ternyata memiliki mata hati yang lebih tajam, memiliki hati nurani yang lebih mulia. Mereka ingin tetap menjaga alam yang telah memberikan mereka kehidupan walaupun ternyata mereka tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk mencegah datangnya orang2 yang mengeruk seluruh kekayaan dari tanah mereka dengan alasan untuk lebih 'memanusiakan' orang2 Papua. Justru tindakan mereka jauh lebih kejam dari binatang, kalau sudah begini, siapakah yang harus lebih di'manusia'kan ? Mereka atau para pendatang itu ?

Membaca buku ini di satu sisi membuat aku tersenyum karena seperti mendengarkan cerita dari 2 ekor hewan yang semula tidak saling menyukai. Tapi di sisi lain membuat aku sempat menangis dan malu. Menangis karena begitu tidak adil kehidupan ini bagi Mabel, Mace Lisbeth dan Leksi, malu karena hewan seperti Pum dan Kwee saja mempunyai pola pikir menggunakan hati nurani yang bersih. Aku melihat bahwa Pum dan Kwee lebih mulia dari para manusia yang serakah. Padahal Tuhan menciptakan manusia sebagai mahluk yang paling sempurna, tapi dalam kenyataannya, manusia secara sengaja telah merendahkan diri mereka hingga lebih rendah dari binatang hanya karena hati mereka telah dikuasai oleh sebuah kata 'keserakahan'. Ironis memang.

Lihat saja nasib Mabel pada akhirnya, keteguhan hatinya untuk menyerukan kebenaran justru harus membawanya kepada penderitaan yang berulang.

"Takdir adalah peta buta kehidupan yang kau tentukan sendiri arah dan beloknya berdasarkan tujuan hidupmu. Takdir akan berakhir buruk jika kau tidak berhati-hati menjaga langkah".(hal.170)

This is such a great book. Two thumbs up for Anin.

For Jimmy: thank you for giving me this book.
*tetap bersabar menunggu peristiwa 10 tahun sekali terulang*

No comments:

Post a Comment