Feb 18, 2010

Tangis Rembulan di Hutan Berkabut



By : S. Prasetyo Utomo
Published : February 1st 2009 by H2O Publishing
(first published 2009)
Details : Paperback, 120 pages
isbn13 : 9789791936705

Rating : 3 of 5 stars
Bookshelves : buku-beli, my-shelf
Status : Read in August, 2009

Gramedia Mall Taman Anggrek 26 Agustus 2009 Rp. 25.500,-

Alasan membeli buku ini adalah karena tertarik tulisan yang terdapat pada sampulnya:
"Novel ini menghanyutkan perasaan dan emosi pembaca ke dalam arus serta pusaran cerita yang mengesankan sejak awal hingga akhir"
(Ahmad Tohari, sastrawan Pengarang Fenomenal Trilogi Ronggeng dukuh Paruk).


Buku ini menggunakan sudut pandang orang pertama (yang pada akhir cerita baru menyebutkan namanya) dan menggunakan setting sebuah desa di tepi hutan jati.

Sang tokoh utama adalah seorang wartawan yang baru aja kehilangan pekerjaan karena berbeda pandangan dengan pimpinannya. Ia lalu pergi menyepi ke rumah kakak tirinya, Gun yang bekerja sebagai mantri hutan yang tinggal di sebuah rumah di tepi hutan jati yang dijaganya.

Betapa mengenaskan melihat hutan yang merupakan paru-paru dunia dibabat dengan seenaknya demi keuntungan beberapa golongan dengan alasan yang dipaksakan. Negara kita mempunyai kawasan hutan yang sangat luas, tapi anehnya kok pemerintah hanya mempekerjakan seorang mantri hutan untuk menjaga wilayah hutan tersebut, itupun hanya difasilitasi dengan peralatan seadanya. Gun harus berjalan kaki seorang diri masuk ke dalam hutan setiap malam (terkadang ditemani oleh sahabatnya, Kang Min) dan hanya bersenjatakan pistol yang kurang memadai, sementara para pencuri kayu berjumlah banyak dan bersenjatakan kapak dan gergaji mesin. Sebenarnya pemerintah serius enggak sih dalam memelihara kelestarian hutan kita ? Atau mempekerjakan seorang mantri hutan hanya merupakan "basa-basi" saja agar terlihat peduli ? Karena seperti yang kita tahu ternyata masih banyak golongan yang memegang lisensi membabat hutan.

Saya kagum dengan tokoh Gun disini. Betapa ia seorang yang tegas dan memegang teguh prinsipnya bahwa hutan harus diselamatkan, tak tersentuh sedikitpun oleh keserakahan lewat tawaran yang menggiurkan yang ditawarkan oleh aparat desa. Sayang pada akhirnya ia harus kehilangan sebelah kakinya dalam suatu pertikaian dengan para perusak alam tersebut (kakinya terkena kapak). Dengan kakinya yang hanya satu, Gun terpaksa pensiun dan ironisnya ia harus menyaksikan mantri hutan penggantinya bersekongkol dengan para pencuri kayu membabat hutan.

Tapi saya kok sebel banget sama tokoh utamanya ya. Seorang wartawan kok enggak berani melakukan sesuatu demi menyalurkan aspirasinya. Jangankan untuk berbuat banyak bagi orang lain, demi menyelamatkan harga dirinya sebagai laki-laki aja enggak dia lakukan kok. Aneh banget !

Ia hanya diam menyaksikan kejahatan yang terjadi, diam menyaksikan kematian Lik Sukro yang tidak wajar, diam menyaksikan sebuah gubuk dibakar oleh seorang suruhan dari lurah yang kalah dalam pencalonan dan menewaskan 2 orang di dalamnya sementara ia sendiri tahu siapa orang yang membakar gubuk tersebut, dan diam atas peristiwa yang menimpa Gun, kakak tiri yang sangat dikaguminya itu.

Ia juga cuma diam ketika Sekar, calon istrinya dikencani laki-laki lain hingga hamil. Itupun ia masih mau menerima keadaan Sekar (padahal jelas-jelas Sekar hamil karena ke"liar"annya sendiri.) Eh, masih juga diam waktu menjelang hari pernikahan Sekar malah minggat dan memilih menjadi istri ketiga dari seorang dalang. Duh... laki-laki macam apa sih dia ?
bener-bener nyebelin deh.

Untungnya rasa sebel yang timbul cuma karena bumbu cerita aja. Tokoh Gun tetap membuat saya kagum. Mudah-mudahan masih banyak "Gun" yang lain yang bersedia berbuat sesuatu untuk menyelamatkan dunia. Dan sudah selayaknya pemerintah memberikan penghargaan yang tinggi kepada orang-orang seperti mereka... orang-orang yang tidak membiarkan keserakahan dan kesombongan menghancurkan dunia.

Dunia kita sedang sekarat, tapi anehnya banyak yang tidak peduli. Padahal bumi yang kita tempati sekarang bukanlah milik kita. Kita hanya meminjam dari generasi yang akan datang. Bukankah selayaknya kita jaga dengan baik agar kita tidak malu ketika tiba waktu untuk mengembalikannya kepada mereka ??

No comments:

Post a Comment